Sabtu, 12 Mei 2012

biografi adam smith


BIOGRAFI

John Adam Smith lahir di Kirkcaldy, Skotlandia, 5 Juni 1723 dan wafat di Edinburgh Skotlandia, 17 Juli 1790 dalam umur 67 tahun. Beliau adalah seorang filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern. Karyanya yang terkenal adalah buku An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (disingkat The Wealth of Nations) adalah buku pertama yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith adalah salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme. Sistem ekonomi ini muncul pada abad 18 di Eropa Barat dan pada abad 19 mulai terkenal disana.
Pada umur 13 tahun, Smith memasuki Universitas Glasgow, dimana dia belajar filosofi moral dibawah"si orang yang tidak boleh dilupakan" (sebagaimana Smith memanggilnya) Francis Hutcheson. Di sini, Smith mengembangkan keinginan kuatnya akan kebebasan, akal sehat, dan kebebasan berpendapat. Tahun 1740 dia dianugrahi Snell exhibition dan memasuki Kampus Balliol, Oxford, tetapi seperti William Robert Scott katakan, "Universitas Oxford dalam masanya memberikan sedikit jika bantuan manapun yang diberikan apa yang harusnya merupakan kerja seumur hidupnya," dan dia meninggalkan universitas itu tahun 1746. Dalam Buku ke V dari The Wealth of Nations, Smith berkomentar pada instruksi kualitas rendah dan aktivitas intelektual yang berjumlah sedikit dibandingkan dengan di Skotlandia. komentarnya ditujukan pada orang-orang yang dianugerahi kekayaan dari kampus-kampus Oxford dan Cambridge, dimana membuat pemasukan dari para profesor tidak berdasarkan pada kemampuan mereka untuk menarik murid, dan pada fakta bahwa orang-orang yang menyaru sebagai men of letters bisa menikmati kehidupan lebih nyaman dari mentri di Church of England.
Kemakmuran Negara (Wealth of Nations) dan yang lebih kecil pengaruhnya Teori Moral Sentimen, telah menjadi titik awal untuk segala pertahanan atau kritik atau bentuk kapitalisme, yang terpenting dalam tulisan Marx dan ekonomi manusia. Karena kapitalisme laissez-faire seringkali dihubungkan dengan keegoisan tak terkontrol, ada gerakan baru yang menekankan filosofi moral Smith, dengan fokus simpati kepada seseorang.

Ada beberapa kontroversi tentang keaslian Kemakmuran Negara Smith; beberapa orang menyangkal hasil kerjanya hanyalah tambahan biasa kepada kerja pemikir seperti David Hume dan Baron de Montesquieu. Dan, banyak teori-teori Smith hanya menggambarkan trend sejarah menjauh dari mercantilisme, menuju perdagangan-bebas, yang telah berkembang selama beberapa dekade, dan telah memiliki pengaruh yang nyata dalam kebijakan pemerintah. Namun begitu, buku ini mengorganisasi pemikiran-pemikiran mereka secara luas, dan tetap menjadi suatu buku yang paling berpengaruh dan penting dalam bidangnya sekarang ini.
Karir di Edinburgh dan Glasgow

Tahun 1748 Smith memulai menguliahi umum di Edinburgh dibawah bimbingan Lord Kames. Sebagian dari perkuliahannya menyinggung retorika dan belles-letters, tetapi nantinya dia akan mengambil subyek dari "kemajuan dari kesejahteraan," dan nantinya, di pertengahan atau akhir abad duapuluh, dimana dia pertama kalinya mengemukakan filosofi ekonomi dari "sistem yang jelas dan sederhana dari kebebasan alamiah" dimana dia menyatakan hal tersebut ke khalayak dalam buku karangannya The Wealth of Nations. Pada sekitar tahun 1750 dia bertemu filusuf David Hume, yang merupakan seniornya terpaut sepuluh tahun. Hubungan dan kesamaan opini yang dapat ditemukan dalam detil dari tulisan mereka mencakup sejarah, politik, filosofi, ekonomi, dan agama menandakan bahwa mmereka berdua memiliki persekutuan intelektual yang dekat dan persahabatan dibanding orang lain yang mana akan memerankan peran penting selama Pencerahan di Skotlandi, dia merutinkan The Poker Club dari Edinburgh.

Tahun 1751 Smith ditunjuk sebagai ketua dewan logika di Universitas Glasgow, dipindahkan tahun 1752 ke Dewan filosofi moral Glasgow, pernah ditinggali oleh gurunya yang terkenal, Francis Hutcheson. Kuliahnya mencakup etika, retorika, jurispundens, politik ekonomi, dan "polisi dan keuntungan". Tahun 1759 dia menerbitkan Teori dari Sentimen Moral, memasukan sebagian kuliahnya di Glasgow. Karya ini, yang membangun reputasi Smith masa itu, menjelaskan bagaimana komuikasi manusia bergantung pada simpati antara agen dan penonton (itu, sang individual dan anggota masyarakat yang lain). Analisanya pada evolusi bahasa terkadang superfisial, seperti yang ditunjukkan 14 tahun kemudian oleh penelitian yang lebih dalam pada bahasa primitif oleh Lord Monboddo dalam karyanya berjudul Asal Muasal dan Perkembangan Bahasa kapasitas Smith akan pengaruh, persuasif, atau argumen retorikal, lebih banyak dalam buktinya. Dia mendasarkan penjelasannya tidak, seperti Lord Shaftesbury ketiga dan Hutcheson lakukan pada "kepentingan moral", juga tidak seperti Hume pada utilitarianisme, tetapi berdasarkan atas simpati.

Smith sekarang memulai memberi perhatian lebih pada jurisprudensi dan ekonomi di dalam kuliahnya dan sedikit pada teorinya tentang moral. Kesan yang didapatkan sama ke pengembangan ide-idenya pada ekonomi politik dari catatan kuliahnya oleh seorang mahasiswa sekitar tahun 1763 yang nantinya diedit oleh Edwin Cannan dan membentuk apa yang Scott, penemu dan penerbitnya, mendeskripsikannya sebagai "Bagian dari Draft Wealth of Nations", yang bertanggal sekitar 1763. Karya Cannan muncul sebagai Kuliah dalam Keadilan, Polisi, Pajak dan Senjata. Sebuah versi lebih lengkap diterbitkan sebagai Kuliah dalam Jurispundensi di edisi Glasgow tahun 1976.

Karakter Pribadi dan Pandangan-Pandangan

Sangat sedikit yang diketahui tentang Adam Smith selain dari apa yang bisa dideduksi dari karya-karyanya yang sudah diterbitkan. Semua paper pribadinya sudah dihancurkan setelah kematiannya. Dia tidak menikah dan sepertinya mempertahankan hubungan dekat dengan ibunya, dimana dia tinggal setelah pulang dari Perancis dan mendahului kematian Smith hanya 6 tahun berselang. Kesaksian kontemporer menjelaskan Smith sebagai eksentrik tetapi intelektual yang dermawan dan ramah, kepikunan yang komikal, dengan kebiasaan yang berulang tentang pidato dan memberi senyuman yang "ramah tanpa ekspresi”.Kesabarannya disebut memiliki nilai penting dalam pekerjaannya sebagai administrasi Glasgow. Setelah kematiannya ditemukan bahwa sebagian besar pendapatannya disumbangkan secara rahasia olehnya.
Telah terjadi beberapa debat terhadap pandangan relijius dari Adam Smith. Ayahnya memiliki ketertarikan besar pada Kekristenan dan merupakan sayap moderat dari gereja Skotlandia (gereja nasional di Skotlandia sejak 1690). Smith mungkin pergi ke Inggris untuk meniti karir didalam Gereja Inggris: pernyataan ini kontroversial dan bergantung pada status eksibisi Snell. Di Oxford, Smith menolak Kristen dan dipercaya kalau dia pulang ke Skotlandia sebagai Deis.


Ekonom Ronald Coase, bagaimanapun, telah menantang pandangan kalau Smith merupakan seorang Deist, menyatakan bahwa, ketika Smith mungkin dihubungkan sebagai "Arsitek Besar Alam Semesta", sarjana lain telah "jauh melebih-lebihkan perluasan sampai dimana Adam Smith telah memasuki sebuah keyakinan dalam sebuah Tuhan Pribadi". Dia mendasari analisa ini dari sebuah remark dalam The Wealth of Nations dimana Smith menulis kalau keingintahuan umat manusia tentang "fenomena luarbiasa dari alam" seperti "generasi, kehidupan, pertumbuhan dan kematian dari tanaman dan binatang" telah membuat manusia untuk "memasukkannya dalam akal sehat mereka". Coase mencatat observasi Smith dimana: "Takhayul pertama-tama ditujukkan untuk memenuhi keingintahuan, dengan menghubungkan semua penampakan menakjubkan pada agensi tentang Tuhan". Bagaimanapun, kepercayaan ini tidak bertentangan dnegan Deisme, sebuah sistem kepercayaan yang memegang ide sekptis tentang Tuhan pribadi.
Pengaruh akan karyanya
Tidak lama sebelum kematiannya Smith menghancurkan nyaris semua manuskrip miliknya. Pada tahun terakhirnya dia sepertinya telah merencanakan dua keterilmuan besar, satu dalam teori dan sejarah hukum dan satu dalam ilmu sains dan kesenian. Terbitan setelah kematiannya Essays on Philoshopical Subjects (1795) mungkin berisi bagian dari apa yang akan menjadi pembelokan selanjutnya.

The Wealth of Nations menjadi berpengaruh karena telah dengan keras membuat bidang ekonomi dan perkembangannya kedalam disiplin yang sistematis dan berdiri sendiri. Dalam dunia barat, masih dibincangkan kalau ini merupakan buku paling berpengaruh dalam subyek tersebut yang pernah diterbitkan. Ketika buku tersebut menjadi manifestasi klasik melawan merkantilisme (teori dimana cadangan besar dari logam mulia merupakan keharusan bagi suksesi ekonomis), muncul di tahun 1776, ada kesadaran kuat untuk perdagangan bebas baik di Inggris maupun Amerika. Perasaan baru ini telah dilahirkan dari kesusahan keadaan ekonomi dan kemiskinan yang diakibatkan oleh Perang kemerdekaan Amerika. Bagaimanapun, pada saat publikasinya, tidak semua orang lantas yakin pada kelebihan perdagangan bebas: publik dan parlemen di Inggris masih memakai sistem merkantilisme untuk beberapa tahun kedepannya.


The Wealth of Nations juga menolak pernyataan Psiokrat dalam pentingnya lahan, malah, Smith percaya bahwa buruh merupakan proritas tinggi, dan pembagian buruh akan berakibat pada kenaikan signifikan pada produksi. Smith memakai contoh dengan pembuatan jepitan. Satu pekerja bisa membuat duapuluh pin sehari. Tapi jika sepuluh orang dibagi menjadi delapanbelas langkah yang diperlukan membuat sebuah jepitan, mereka bisa membuat 48.000 jepitan dalam sehari. Nations sangat sukses, dan faktanya, hal ini mengakibatkan pengosongan sekolah ekonomi yang lebih tua dan ekonom lebih muda, seperti Thomas Malthus dan David Ricardo, fokus dalam memperbaiki teori Smith kedalam apa yang akan dikenal sebagai ekonomi klasik. Baik ekonomi modern dan, secara terpisah, ekonomi Marxisan bergantung sekali pada ekonomi klasik. Malthus mengembangkan ruminasi Smith dalam overpopulasi, sedangkan Ricardo percaya pada "hukum besi upah" - dimana ledakan populasi bisa mencegah upah melewati tingkat yang rasional. Smith memberi solusi pada kenaikan upah dengan kenaikan produksi, pandangan yang dianggap lebih akurat sekarang ini.

Satu dari poin utama The Wealth of Nations adalah pasar bebas, ketika penampilannya kacau dan tidak teratur, sebenarnya dipandu untuk membuat nilai yang benar dan bermacam barang oleh "tangan-tangan tak terlihat" (sebuah imej yang dipakai Smith dalam Teory of Moral Sentiments, tetapi pertamakali dipakai dalam esai miliknya, "Sejarah Astronomy"). Jika sebuah kelangkaan produk terjadi, misalnya, maka harganya naik, membuat marjin keuntungan yang membuat insentif bagi yang lain untuk masuk ke produksi tersebut, dan mengatasi kelangkaan. Jika terlalu banyak produsen yang msauk ke pasar, kompetisi yang meningkat diantara para manufaktur dan kenaikan penawaran akan menurunkan harga di produk tersebut sampai titik dimana harga produksinya, harga natural. Bahkan jika keuntungan sampai kosong pada "harga natural", maka akan ada insentif untuk memproduksi barang dan jasa, dan semua ongkos produksi, termasuk kompensasi untuk buruh pemilik, juga dimasukkan dalam harga barang jual. Jika harga jatuh dibawah keuntungan kosong, produsen akan keluar dari pasar, jika mereka berada diatas keuntungan kosong, produsen akan masuk ke pasar. Smith percaya kalau motif manusia seringkali egois dan tamak, kompetisi dalam pasar bebas akan bertujuan menguntungkan masyarakat seluruhnya dengan memaksa harga tetap rendah, dimana tetap membangun dalam insentif untuk bermacam barang dan jasa. Selain itu, dia cemas akan pebisnis dan melawan formasi monopoli.

Smith dengan keras menyerang pembatasan antik oleh pemerintah dimana dia pikir batasan tersebut memundurkan ekspansi industri. Faktanya, dia menyerang hampir semua bentuk intervensi pemerintah dalam proses ekonomi, termasuk tarif, berpendapat bahwa hal tersebut membuat inefisiensi dan harga tinggi pada jangka panjang. Teori ini kemudian dikenal dengan "laissez-faire", yang berarti "biarkan mereka lakukan", mempengaruhi legislastif pemerintah di tahun-tahun berikutnya, khususnya selama abad ke 19. (Bagaimanapun dia tidak melawan pada pemerintahan. Smith menganjurkan edukasi publik bagi orang dewasa miskin, sistem institusional yang tidak non laba untuk industri swasta, judisiari, dan pasukan berdiri.)

Dua dari kutipan yang paling terkenal dan paling sering digunakan dalam The Wealth of Nations adalah:
“bukanlah kebaikan dari tukang daging, tukang bir, atau tukang roti yang kita harapkan pada makan malam kita, tetapi kepedulian mereka pada kepentingan mereka sendiri. Kita mengenalkan diri kita, tidak pada kemanusiaan mereka tetapi pada kecintaan mereka pada diri sendiri, dan tidak pernah bicara pada mereka atas keperluan kita tetapi untuk keuntungan mereka.

Sebagaimana setiap individu  maka mengusahakan sebanyak apa yang ia bisa sehingga ia bisa menggunakan modal miliknya dalam mendukung insutri dalam negeri, dan juga untuk mengarahkan industri yang produksinya mungkin merupakan nilai terbesar. Setiap individu buruh yang diperlukan untuk memasang nilai yang tepat dari masyarakat sebaik yang ia bisa. Dia secara umum tidak mempromosikannya untuk kepentingan publik, tidak juga tau sebanyak apa dia mempromosikannya. Dengan memprefrensikan dukungan dari dalam negeri ke industri asing, dia bertujuan hanya untuk keamanan dirinya sendiri, dan dengan mengarahkan industri tersebut dalam sikap dimana produksinya merupakan nilai terbesarnya, dia hanya memikirkan keuntungan dirinya sendiri, dan dia dalam hal ini, seperti kasus lainnya, dipandu oleh tangan-tangan tak terlihat untuk menghasilkan sebuah akhir dimana akhir tersebut bukan bagian dari tujuannya. Tidak juga selalu merupakan yang lebih buruk bagi masyarakat yang mana hal tersebut bukan merupakan bagian darinya. Dengan mengejar keuntungan dirinya sendiri secara berkala dia secara teratur menghasilkan apa yang berakibat bagi masyarakat lebih dari yang ia perkirakan akan hasilnya. Saya tidak pernah bertemu banyak kebaikan yang terjadi dengan siapapun yang berdagang dalam barang publik. Ini merupakan emosi yang kuat, sebenarnya, tidak begitu umum diantara para pedagang, dan sangat sedikit kata-kata yang bisa digunakan untuk meyakinkan tidak melakukan hal tersebut pada mereka.

Kutipan favorit lain, yang biasanya digunakan oleh ekonom, juga dari The Wealth of Nations adalah:
“Orang-orang dari perdagangan yang sama terkadang bertemu bersama, bahkan untuk bersenang-senang dan perpisahan, tetapi percakapannya akan berakhir dengan konspirasi melawan publik, atau dalam hal tertentu untuk menaikkan harga. Mustahil sebenarnya untuk mencegah pertemuan seperti ini, dengan hukum manapun yang akan ditimpakan, atau akan konsisten dengan kebebasan dan keadilan. Tetapi dengan hukum tidak bisa menghindarkan masyarakat dari perdagangan yang sama untuk terkadang bertemu bersama,itu seharusnya tidak berakibat apapun untuk memfasilitasi pertemuan seperti itu, lebih kurang untung membuat mereka dibutuhkan.”
Telaah Kritis Pemikiran Klasik Adam Smith
Pemikiran Klasik Adam Smith memang lebih banyak berbicara pada segi ekonomi. Selain sebagai bibit system perekonomian dunia, pemikiran ini pun tak pernah berubah, Adam Smith sempat ditentang oleh kaum sosialis komunis khususnya Marx dan Engel, tapi system ini tetap menang, bukannya dihapus tapi diperbaiki oleh para pakar ekonomi politik internasional. Seakan pemikiran ini tak pernah mau dilepas, selalu dipercantik wajahnya, baik oleh Malthus, Ricardo, Say, dan paling berpengaruh dalam hal perubahan adalah J. M. Keynes.
Pemikiran klasik Adam Smith, yang sangat terkenal dengan leissez faire-leissez passer dan invisible hands sangat sederhana dan pada tahap awal implementasinya dalam perekonomian masa itu memang sangat efektif. Terlihat dengan jelas bahwa pemikiran yang dikembangkan Adam Smith kala itu berhasil mengangkat perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat kala itu. Seperti yang kita tahu, sebelum pemikiran ekonomi klasik ini diterima dalam masyarakat, dunia berada pada masa merkantilis dimana negara memiliki peranan yang sangat besar dalam penentuan kebijakan ekonominya, perdagangan luar negeri hanya boleh dilakukan oleh pihak negara, sehingga terjadi kesenjangan yang sangat besar dimana saudagar yang pada umumnya juga adalah para negarawan semakin semena-mena dalam hal penguasaan modal.
Hal ini lah yang dibawa oleh Smith dan kaum fisiokratis, bahwa semestinya bukan negara yang mengatur. Setiap individu diyakini memiliki hak masing-masing untuk merasakan kenikmatan. Karena itu, perekonomian adalah bidang yang semestinya harus dibedakan dengan bidang yang lain dalam kehidupan, karena ini bersentuhan langsung pada kehidupan manusia. Perekonomian harus dilepaskan dari intervensi pihak manapun, biarkan semuanya berjalan seperti apa adanya.
Individualis, setiap orang akan memperjuangkan kepentingannya sendiri. Jika ini berjalan dengan maksimal dan sempurna, maka tanpa disadari dan tanpa diminta-minta, akan tercipta suatu keadaan kesetimbangan baik ekonomi dan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini lah yang dipahami Smith, tapi ada hal yang terlupakan dalam pembahasannya yang kemudian disadari oleh Malthus, yakni tingkat pertumbuhan populasi manusia.
Smith tidak memperhitungkan pertumbuhan populasi manusia. Hal tersebut yang saya gambarkan di atas memang memiliki kemungkinan untuk terjadi, namun bagaimana jika pertumbuhan populasi terus meningkat? Dimana penghuni-penghuni baru bumi tersebut akan memperjuangkan hak dan kepentingannya untuk hidup jika sudah tak ada lagi tanah. Mengingat tingkat pertumbuhan tanah tetap dan populasi manusia terus meningkat setiap tahunnya.
Jika korelasi antara tanah dan populasi manusia ini tidak mendapat perhatian, maka Malthus meramalkan bahwa suatu saat nanti akan ada masa dimana individu-individu untuk memperjuangkan hidupnya baik ekonomi maupun politik akan saling memperebutkan tanah, sehingga memicu terjadinya konflik, dan bias saja memicu terjadinya perang.
Selain itu, walaupun sifat egois menurut Smith adalah hal yang positif dalam system mekanisme pasar yang dikembangkannya, tapi saya masih tetap menaruh keraguan akan hal itu. Dalam proses perdagangan, kita tentu melakukan sebuah kegiatan dagang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan ini kemudian akan kita kumpul untuk diinvestasikan dalam bentuk lain. Penginvestasian dalam bentuk lain ini lah yang kemudian bertentangan dengan paham yang disebarkan Smith. Pemikiran Smith tak bisa membendung hasrat setiap orang untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya, termasuk untuk menginvestasikan kapitalnya dalam berbagai bentuk, walau itu mengambil ruang lingkup kerja individu lain. Sesungguhnya itu lah yang terjadi pada masa sekarang sehingga orang-orang kaya akan semakin kaya dengan menginvestasikan kapitalnya dalam berbagai bentuk dan orang miskin akan tetap miskin begitu saja atau malah semakin miskin karena tergantung dengan lapangan pekerjaan yang dibentuk oleh orang kaya tadi.
Karena orang miskin tadi tergantung pada lapangan pekerjaan yang dibentuk oleh orang kaya tadi, mengingat orang miskin memang membutuhkan pekerjaan, maka orang kaya yang memiliki modal capital tadi bias saja mengontrol upah yang diberikan pada pekerjanya. Bahkan pada beberapa kasus, para pemodal juga mengambil laba dari upah yang diberikan pada pekerjanya. Dan para pekerja hanya bias diam saja karena mereka berpikiran lebih baik diupah sedikit daripada dipecat dan menganggur.
Deskripsi tadi sebenarnya bukan pembantahan atas pemikiran Smith yang mengatakan bahwa dengan mekanisme pasar, maka pengangguran akan berkurang karena banyak dimanfaatkan sebagai tenaga kerja dalam pasar, melainkan penjelasan bahwa apa yang diramalkan Smith memang benar, tapi terdapat unsur ketidakadilan dan pemaksaan bahkan penindasan dan eksploitasi oleh pihak yang bermodal dan tidak bermodal di sini.
Walaupun setiap orang bergerak dengan kepentingan dirinya masing-masing, tapi tidak ada yang menjamin bahwa proses pemenuhan kebutuhan individu tadi baik dalam bidang politik dan ekonomi tidak merugikan atau memanfaatkan pihak lain. Keluhuran dalam bersikap dan selalu ada maksud lain dalam setiap kegiatan, itulah yang menjadi penyakit para pelaku ekonomi politik internasional saat ini. Sehingga, semangat yang sebenarnya luhur yang dibawa Smith semakin bergeser dari porosnya.
Pemikiran ini mati karena keserakahan yang tidak terbendung. Hal ini terbukti dengan The Great Depresion pada tahun 1930-an. Pada masa itu diyakini sebagai masa kegagalan implementasi pemikiran Smith. Pasar terlalu bebas untuk dilepas dengan orang-orang yang serakah sehingga barang diproduksi terlalu banyak, konsumsi kredit pun sangat tinggi, yang memicu terjadinya inflasi yang besar.
Munculah kemudian Keynes dengan pemikirannya yang lagi-lagi mempercantik wajah ekonomi klasik yang dikembangkan Smith. Menurutnya, untuk mengontrol laju perekonomian, dibutuhkan campur tangan negara sebagai pengontrol dan pengawas, agar semuanya terkendali dan tetap pada jalurnya. Walaupun teori ini terbantahkan pada tahun 1970-an karena lagi-lagi terjadi depresi saat itu, tapi pemikiran ini cukup membantu pada proses penyelamatan pemikiran Smith dari The Great Deppresion 1930.
Sebenarnya pemikiran klasik Adam Smith ini, untuk masa sekarang, sudah tidak relevan lagi untuk digunakan karena sudah terlalu banyak pembantahan-pembantahan yang terungkap dari kegagalannya. Namun, entah mengapa para pemikir ekonomi politik dunia tetap saja melanjutkan semangat perdagangan bebas dan liberalisasi walaupun dalam wajah yang lain dan terus saja mempercantik pemikiran Smith ini. Bahkan, tak jarang dari berbagai organisasi internasional yang ada di dunia, negara-negara berkembang dipaksa untuk mengikuti pola piker liberalisasi ekonomi. Dapat dilihat dari bagaimana negara-negara berkembang didoktrin sedemikian rupa untuk mengembangkan pembangunan wilayahnya walaupun belum siap sehingga mesti meminjam uang pada badan moneter internasional.
Negara-negara berkembang seakan tak punya pilihan lain selain mengikuti pola yang memang telah dibentuk sejak berabad lalu sehingga bagaimana agar pola komando itu tetap dipegang oleh mereka yang berada di belahan barat bumi yang dianggap sebagai kelompok negara maju. Sempat ada penentangan dari kaum sosialis komunis dengan pemikiran Marx dan tokoh-tokoh yang menjadi pengikutnya, tapi pemikiran ini tidak mendapat perhatian lebih oleh para pihak yang memegang kendali.
Pemikiran Marx dan Engels dengan teori sosialis komunis nya semestinya memiliki peluang untuk diyakini secara lebih luas kala system mekanisme pasar mengalami kegagalan terbesarnya pada Great Depresion tahun 1930-an, tetapi ternyata tidak demikian. Sistem yang berkembang dari pemikiran Smith yang sudah jelas gagal bukannya ditinggalkan melainkan dipercantik oleh pakar-pakar ekonomi lain untuk menyelamatkan system liberalisasi itu sendiri. Bahkan sekarang, negara-negara yang tadinya memiliki paham sosialis komunis yang sangat bertentangan dengan paham liberal lambat laun berubah wajah juga menjadi liberal. Hal seperti ini yang dialami Rusia dan Cina. Dan sayangnya, realita seperti ini semakin meyakinkan dunia bahwa untuk berkembang dalam bidang ekonomi, kita harus mengikuti tatanan perekonomian global yang telah dikonsep sedemikian rupa, seakan tak ada pilihan lain.Wajah ekonomi politik klasik yang dikembangkan Adam Smith dengan Liberalisasi seakan tak pernah padam, hanya berubah wajah yang membuatnya tak lekang oleh waktu,




Teori Laissez-faire Adam Smith
Laissez-faire adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi" (secara harafiah "biarkan berbuat"). Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat pada abad ke 18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan. Laissez-faire menjadi sinonim untuk ekonomi pasar bebas yang ketat selama awal dan pertengahan abad ke-19. Secara umum, istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ini berpendapat bahwa suatu perekonomian perusahaan swasta (private-enterprise economy) akan mencapai tingkat efesiensi yang lebih tinggi dalam pengalokasian dan penggunaan sumber-sumber ekonomi yang langka dan akan mencapai pertumpuhan ekonomi yang lebih besar bila dibandingkan dengan perekonomian yang terencana secara terpusat (centrally planned economy). Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa kepemilikan pribadi atas sumber daya dan kebebasan penuh untuk menggunakan sumber daya tersebut akan menciptakan dorongan kuat untuk mengambil risiko dan bekerja keras. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung mematikan inisiatif dan menekan perusahaan.
Dalam pandangan laissez-faire, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan bersandar pada sumbangan dan sistem pasar. Laissez faire juga menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam bisnis. Misalnya, penganut dari laissez-faire mendukung ide yang menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat monopoli legal atau menggunakan kekuasaan dan paksaan untuk merusak monopoli de facto. Pendukung dari laissez-faire juga mendukung ide perdagangan bebas dalam artian negara tidak boleh melakukan proteksi, seperti tarif dan subsidi, di wilayah ekonominya.
Pada masa awal dari teori ekonomi Eropa dan Amerika, kebijakan laissez-faire terbentuk konflik dengan merkantilisme, yang telah menjadi sistem dominan di Britania raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya.
Istilah laissez-faire sering digunakan bergantian dengan istilah "pasar bebas". Beberapa menggunakan laissez-faire untuk merujuk pada perilaku "biarkan terjadi, biarkan lewat" dalam hal-hal di luar ilmu ekonomi.
Laissez-faire dihubungkan dengan Liberalisme klasik, libertarianisme dan Obyektivisme. Asalnya dikenalkan dalam bahasa Inggris tahun 1774, oleh George Whatley, dalam buku Principles of Trade, yang di dampingi oleh Benjamin Franklin. Ekonom klasik, seperti Thomas Malthus, Adam Smith dan David Ricardo tidak menggunakan istilah ini. Jeremy Bentham menggunakan ini, tetapi hanya dalam Liga Hukum Anti-Jagung dan nyaris sama dengan pengertian Inggrisnya.

Laissez-faire Sekarang

Kebanyakan negara modern industrialis sekarang tidak mewakilkan laissez-faire dalam prinsip maupun kebijakannya, karena biasanya mereka melibatkan sejumlah besar intervensi pemerintah dalam ekonomi. Intervensi ini termasuk upah minimum, kesejahteraan korporasi, antitrust, nasionalisasi, dan kesejahteraan sosial di antara bentuk lain dari intervensi pemerintah. Subsidi untuk bisnis dan agrikultur, kepemilikan pemerintah pada beberapa industri (biasanya dalam sumber daya alam), regulasi dari kompetisi pasar, pembatasan perdagangan dalam bentuk tarif protektif - kuta impor - atau regulasi internal yang mengntungkan industri domestik, dan bentuk lain favoritme pemerintah.
Menurut 2007 Index of Economic Freedom yang dikeluarkan Heritage Foundation, 7 negara dengan ekonomi paling bebas ialah : Hong Kong, Singapura, Singapura, Australia, Amerika Serikat dan Irlandia (semuanya merupakan bekas jajahan Britania). Hong Kong diperingkat satu dari 12 tahun berturut-turut dalam indeks yang tujuannya "menghitung äbsennya koersi pemerintah pada pembatasan produksi, distribusi, atau konsumsi barang dan jasa lebih jauh dari keperluan dari penduduk untuk memproteksi dan menetapkan kebebasan itu sendiri. Milton Friedman memuji pendekatan laissez faire oleh Hong Kong yang mengubah kemiskinan menjadi kemakmuran dalam 50 tahun.
Bagaimanapun pada konfrensi pres pada 11 September 2006, Donald Tsang, Eksekutif dari Hong Kong berkata kalau "Non-Proteksionisme positif merupakan kebijakan yang diusulkan oleh Mentri Keuangan sebelumnya, tetapi kita tidak pernah berkata kalau ketia masih menggunakannya sebagai kebijakan kami yang sekarang.... Kami lebih senang dijulukji dengan kebijakan 'pasar-besar, pemerintah kecil'." Respon dalam Hong Kong terbagi secara luas, sebagian melihat sebagai pengumuman untuk meninggalkan non-intervesionisme positif, yang lain melihatnya sebagai respon yang lebih realistis ke kebijakan pemerintah pada beberapa tahun terakhir, seperti intervensi pada pasar modal untuk mencegah kehancuran.

Teori Ekonomi

Laissez-faire berarti bahwa mahzab pemikiran ekonomi neoklasik memegang pandangan pasar yang murni atau liberal secara ekonomi: bahwa pasar bebas sebaiknya dibiarkan pada seperti apa adanya, dan akan didispensasikan dengan inefisiensi dalam cara yang lebih bebas dan cepat seperti pemberian harga, produksi, konsumsi, dan distribusi dari barang dan jasa dibuat untuk ekonomi yang lebih baik atau efisien.
Ekonom Adam Smith dalam bukunya 'Wealth of Nations' berpendapat bahwa sebuah "tangan tak terlihat" dari pasar akan memandu masyarakat untuk bertindak dengan mengikuti kepentingan pribadi mereka sendiri, karena satu-satunya cara menghasilkan uang adalah dengan melalui pertukaran secara sukarela, dan satu-satunya cara untuk mendapatkan uang dari masyarakat adalah untuk memberikan apa yang mereka inginkan. Smith menunjukkan kalau seseorang tidak mendapatkan makan malam dengan mengandalkan belas kasih dari tukang daging, petani atau tukang roti. Tapi mereka mengandalkan kepentingan pribadi mereka dan membayar mereka atas kerja keras mereka.
Ide sentral The Wealth of Nations adalah pasar bebas yang bergerak menurut mekanisme pasar yang dianggapnya secara otomatis bisa memprodusir macam dan jumlah barang yang paling disenangi dan diperlukan masyarakat konsumen. Misalnya, persediaan barang yang justru disenangi merosot, dengan sendirinya harga akan naik dan kenaikan harga ini akan mendatangkan untung banyak bagi siapa saja yang memproduksinya. Karena untung banyak, pabrik-pabrik lain tergerak untuk memproduksi juga. Akibat dari kenaikan produksi tidak bisa tidak akan menyingkirkan keadaan kekurangan barang. Lagi pula, kenaikan suplai dalam kaitan dengan kompetisi antar pelbagai perusahaan akan cenderung menurunkan harga komoditi pada tingkat harga yang "normal," misalnya ongkos produksinya. Tak ada pihak mana pun yang membantu melenyapkan kelangkaan, tetapi kelangkaan itu akan teratasi dengan sendirinya. "Tiap orang," kata Smith "cenderung mencari keuntungan untuk dirinya, tetapi dia "dituntun oleh tangan gaib untuk mencapai tujuan akhir yang bukan menjadi bagian keinginannya. Dengan jalan mengejar kepentingan dirinya sendiri dia sering memajukan masyarakat lebih efektif dibanding bilamana dia betulbetul bermaksud memajukannya" (The Wealth of Nations, Bab IV, pasal II).
"Tangan gaib" ini tak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya jika ada gangguan terhadap persaingan bebas. Smith karena itu percaya kepada sistem perdagangan bebas dan menentang keras harga tinggi. Pada dasarnya dia menentang keras hampir semua ikut campurnya pemerintah di bidang bisnis dan pasar bebas. Campur tangan ini, kata Smith, hampir senantiasa akan mengakibatkan kemerosotan efisiensi ekonomi dan ujungujungnya akan menaikkan harga. (Smith tidaklah menciptakan semboyan "laissez faire," tetapi dia lebih dari siapa pun juga menyebarkan konsep itu).
Beberapa orang peroleh kesan bahwa Adam Smith tak lain dari seorang yang cuma "menari menurut bunyi gendang" demi kepentingan ekonomi. Pendapat ini tidaklah benar. Dia berulang kali dan dengan kata-kata keras, mengecam habis praktek-praktek monopoli ekonomi dan menginginkan penghapusannya. Dan Smith bukannya orang naif dalam hubungan ekonomi praktek. Ini bisa dibaca dari pengamatannya yang khas dalam buku The Wealth of Nations: "Orang dalam dunia dagang barang yang sama jarang bisa ketemu bersama, tetapi pembicaraan akan berakhir pada pembentukan komplotan yang bertentangan dengan rakyat, atau dalam bentuk lain menaikkan harga."
Begitu sempurnanya Adam Smith mengorganisir dan mengedepankan sistem pemikiran ekonominya, sehingga hanya dalam jangka waktu beberapa puluh tahun saja mazhab-mazhab ekonomi sebelumnya tersisihkan. Nyatanya, semua pokok-pokok pikiran mereka yang bagus telah digabungkan dengan sistem Smith, sementara Smith dengan sistematis mengungkapkan kekurangan-kekurangan mereka yang ada. Pengganti Smith termasuk ekonom-ekonom kenamaan seperti Thomas Malthus dan David Ricardo, mengembangkan dan menyempurnakan sistemnya (tanpa mengubah garis-garis pokoknya) menjadi struktur yang kini digolongkan kedalam kategori ekonomi klasik. Sampai pada suatu tingkat penting tertentu, bahkan teori ekonomi Karl Marx (meski bukan teori politiknya) dapat dianggap sebagai kelanjutan dari teori ekonomi klasik.
Dalam buku The Wealth of Nations, Smith sebagian menggunakan pandangan-pandangan Malthus tentang kelebihan penduduk. Tetapi, jika Ricardo dan Karl Marx keduanya bersikeras bahwa tekanan penduduk akan mencegah upah naik melampaui batas keperluan (apa yang disebut "hukum baja upah"), Smith menegaskan bahwa kondisi kenaikan produksi upah dapat dinaikkan. Amatlah jelas, kejadian-kejadian -membuktikan bahwa Smith benar dalam segi ini, sedangkan Ricardo dan Marx meleset.
Tak ada sangkut-pautnya dengan ketetapan pandangan Smith atau pengaruhnya terhadap para teoritikus ekonomi yang datang belakangan, yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap perundang-undangan serta politik yang diambil pemerintah. The Wealth of Nations ditulis dengan keulungan yang tinggi serta kejernihan pandangan yang tak bertolok banding dan terbaca amat luas. Argumen Smith menghadapi campur tangan pemerintah dalam bidang bisnis dan dunia perdagangan dan demi rendahnya harga serta perekonomian bebas, telah mempengaruhi secara pasti terhadap garis kebijaksanaan pemerintah di seseluruh abad ke-19. Sesungguhnya, pengaruhnya dalam hal itu masih tetap terasa hingga sekarang.
Sejak teori ekonomi berkembang pesat sesudah masa Smith, dan beberapa gagasannya tergeser oleh pendapat-pendapat lain, sangatlah mudah mengecilkan makna penting Adam Smith. Mesti begitu, fakta menunjukkan, dialah pemula dan pendiri tokoh ekonomi sebagai suatu studi yang sistematis,dan dia sesungguhnya tokoh terkemuka dalam sejarah pemikiran manusia.
·         Individualisme dan Kebebasan
Adam Smith pertama kali menulis buku yang berjudul The Theory of Moral Sentiments pada tahun 1759. dalam bukunya ini Smith meyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup sebagai warga masarakat, dan tidak menyukai hidup ang individualistik dan mementingkan diri sendiri.
Adam Smith memiliki pemikiran bahwa setiap orang secara natural akan saling menghargai (rasional) sehingga dia menganggap manusia adalah makhluk bebas yang dengan sendirinya tahu nilai-nilai kemasyarakatan. Pemikiran semacam ini sangat berbahaya karena pada kenyataannya manusia tidak seperti anggapan Adam Smith (rasional, ada beberapa manusia yang irasional).
Tanpa adanya peraturan manusia akan saling makan dan menindas yang berlaku adalah hukum rimba. Smith yang menghargai sifat natural manusia dan kecewa pada dampak merkantilisme membenci campur tangan pemerintah tetapi tanpa ada campur tangan pemerintah, kehidupan dalam bernegara tidak akan dapat berjalan dengan sendirinya.


·         Laissez-faire Principles
Di dalam bukunya Smith yang berjudul Wealth of Nations, prinsip Laissez faire menjadi dasar dari sistem ajaran dan menjadi pelabuhan bagi filsuf-filsuf luar negeri yang membentuk suatu bagian esensial. Prinsip Laissez faire, persaingan, dan teori nilai pekerja adalah fitur berharga yang diajarkan dari sekolah ekonomi beraliran klasik, yang secara esensial dibangun oleh Smith serta Malthus, Ricardo, dan Mill. Prinsip Laissez faire merupakan pondasi bagi sistem ekonomi klasik.
Ketika Smith membuat pembelaannya untuk natural liberty atau lissez faire, dia telah ketinggalan tradisi filosifi politik Locke. Pemikiran besar bahwa ada pembatasan untuk legitimasi fungsi pemerintah dia dapat menemukn pada Locke.
Prinsip pembatasan Locke akan membatasi legislasi untuk yang dibuat untuk barang public. Bagi Smith, barang public membutuhkan laissez faire karena pencarian self-interest, dipandu oleh invisible hand dari persaingan, yang menghasilkannya, sedangkan intervensi pemerintah dalam lingkungan perekonomian akan lebih sering mengganggu daripada menolong
·         Labor Theory of Value
Kemajuan besar ajaran ekonomi adalah saat Smith melakukan emansipasi terhadap kedua belenggu kaum merkantilis dan physiokrat. Lebih dari dua ratus tahun para ahli ekonomi mencari sumber kemakmuran. Kaum merkantilis menemukan sumber kemakmuran pada perdagangan internasional, sedangkan kaum physiokrat menemukannya pada lebih jauh lagi dan beranggapan bahwa kemakmuran yang asli didapat dari pengaruh perdagangan terhadap produksi, pada saat itu hanya ada satu macam produks yaitu pertanian.
Smith membangun pondasi Petty dan Cantillon yaitu pengaruh final revolution. Dengan pekerjanya menjadi sumber dana yang secara orisinil menyetor tiap-tiap negara ‘dengan semua keperluan dan kebutuhan hidup yang dikonsumsi setiap tahunnya.
Smith tetap berbicara mengenai kemakmuran dalam pengertian kegunaan objek material, seperti apa yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu Inggris-nya, tetapi dengan membuat hasil dari pekerja secara umum, dia menunjuk untuk mengadakan penyelidikan kemakmuran sosial daripada secara teknik.
Kata Smith, kemakmuran sebuah negara akan bergantung pada dua kondisi, pertama, tingkat produktivitas pekerja dan yang kedua adalah jumlah kegunaan pekerja, dengan kata lain produktivitas pekerja terhadap kemakmuran, dimana pekerja dipekerjakan. Faktor pertama mendorong Smith untuk berdiskusi tentang division of labor, perdagangan, uang dan distribusi. Faktor kedua meliputi analisis modal.
Nilai perdagangan barang ditentukan oleh jumlah pekerja yang menjalankan barang di pasar. Tahap demi tahap dalam teori nilai pekerja ini memunculkan adanya ‘real cost’ teori nilai, teori nilai ini mengandung pengertian penderitaan pekerja.
Real value’ atau ‘natural value’ dari komoditi yang dipertukarkan diukur dalam kandungan apa yang diperintahkan kepada pekerja.
Pekerja bukan suatu jumlah homogenitas, sejak pembedaan tipe pekerja berdasar tingkat hardship an ingenuity. Value menurut Smith dapat dibagi dua yaitu value in use dan value in exchange. Value in use adalah nilai kegunaan barang tersebut sedangkan value in exchange adalah nilai tukar dari barang itu.
Pekerja menurut Smith adalah sumber dari value seluruh komoditi pernyataan ini merupakan kutipan dari salah satu poin pemikiran Ibnu Khaldun tentang pekerja. Teori tentang pekerja Smith merupakan penambahan teori Petty dan Cantillon dengan supply dan demand versi John Locke.
Campur tangan uang mengubah perkiraan nilai barang tetap jauh dari basis pekerja. Teori nilai pekerja-nya Smith berubah menjadi teori biaya produksi. Tanah dan modal muncul menjadi faktor produksi yang dikelola pekerja di satu waktu, di waktu yang lain pengembalian tanah dan modal digambarkan sebagai deduksi dari produk pekerja.
·         Division of Labor
Smith memulai analisisnya dengan division of labor karena dia berharap menemukan dasar transformasi yang tepat dari bentuk konkret pekerja, yang memproduksi barang yang tepat (berguna), kepada pekerja sebagai elemen sosial, yang menjadi sumber kemakmuran dalam bentuk abstrak (nilai pertukaran).
Divisions of labor dijadikan dasar oleh Smith karena meningkatkan produktivitas pekerja. Setelah memberikan pengetahuannya mengenai perhitungan qualitas dan konsekuensi, Smith memproses penyelidikan terhadap penyebabnya.
Karena division of labor bergantung pada propensity to exchange, yang Smith hormati sebagai salah satu motiv dasar dari human conduct. Ada sesuatu kebingungan dalam satu point Smith mengenai hal ini yaitu tentang sebab dan akibat. Mungkin suatu yang benar jika perdagangan tidak dapat exist tanpa divisions of labor, ini tidak benar, paling tidak dalam teori, divisions of labor memerlukan existensi dari private exchange.
Secara logis didemonstrasikan ketika pada suatu organisasi sosial tertentu yang menerapkan divisions of labor tanpa perdagangan. Dalam komunitas ini dapat ditunjukkan keberadaannya. Smith bersalah karena membuat karakteristik masyarakat pada zamannya untuk segala zaaman, dia dihormati sebagai manusia biasa dan dibuat kedalam penjelasan dasar yang universal, fitur dari sosial kontemporer yang dikondisikan scara historis.
Tapi tujuan Smith menjadi propaganda. Dia menekankan pengaruh dasar pada produktivitas untuk mendemonstrasikan bahwa perdagangan dibebaskan sebagai prasyarat pengembangan kekuatan produktif dan tidak hanya berguna penuh untuk mengadakan kekuatan produksi.
Smith memproses untuk menanalisis bagaimana tingkat divisions of labor ditentukan dan disimpulkan bahwa divisions of labor dibatasi dengan extent pasar.
Smith menjelaskan bahwa dengan divisions of labor kuantitas dan kualitas produksi dapat dicapai dengan lebih baik. Peningkatan kuantitas dan kualitas produksi dapat dihasilkan karena tiga alasan, yaitu :
·         Physiokrat mengenai peningkatan kepuasan, sedang Smith lebih condong pada tingkat persaingan dan natural liberty dalam pencapaian kepuasan.
·         Smith juga memperkenalkan Theory of Value yang berisi tentang nilai yang digunakan dalam pertukaran. Permasalahan yang timbul dari nilai tukar barang adalah adalah value of use, value of exchange, measure of value.
·         Smith juga menjelaskan mengenai bimetal coin sebagai alat pertukaran, dan juga ada nominal price dan real price dengan prnsip pekerja berkaitan dengan harga riil komoditas dan uang sebagai harga nominal komoditas.Divisions of labor yang dikemukakan oleh Smith memunculkan sifat individualisme dan menjadikan manusia seolah-olah menjadi mesin yang terprogram terlepas dari adanya efisiensi waktu yang ditimbulkan.
·         Teori Upah
Bahwa harga natural dihubungkan pada level output merupakan suatu pemikiran yang tidak dipertimbangkan oleh Smith. Asumsi implisit bahwa yang mendasari pendapatnya adalah semua koefisien biaya konstan dan tetap dari produksi.
Dalam teorinya tidak ada tempat untuk diminishing returns atau factor substitution. Sesungguhnya harga natural secara fungsional dihubungkan hanya untuk faktor pengembalian seperti yang ditunjukkan oleh Smith, natural price mengubah dengan tingkat natural dari setiap komponennya yaitu upah, profit, dan sewa.
Upah natural dari labor menurut Smith terdiri dari produk labor yang sebelum pemberian tanah dan akumulasi capital semestinya dalam keseluruhan pekerjaannya. Dengan kenaikkan kelas tuan tanah dan kapitalis pekerja dia harus membagi produknya dengan tuan tanah dan majikan. Buruh dan majikan adalah bentuk kombinasi kenaikkan atau penurunan upah.
Majikan biasanya lebih berhasil dalam usahanya daripada buruh tapi kebutuhan buruh dan keluarganya untuk bentuk penghidupan dasar di bawah upah tidak dapat jatuh untuk waktu yang sangat panjang. Peningkatan demand untuk labor mungkin meningkatkan upah serta substansi diatas tingkat penghidupan dipandang oleh Smith sebagai “yang paling rendah yang konsisten dengan kemanusiaan umumnya.” Kemudian, demand untuk labor dapat meningkat hanya dalam proporsi peningkatan dari “ dana yang ditunjukkan untuk membayar upah.”
Jadi, munculnya dana upah disusun dari surplus pendapatan dan surplus capital pada kelebihan dari personal pemilik dan kebutuhan bisnis. Peningkatan pendapatan dan peningkatan capital merupakan prasyarat dari peningkatan upah.
Suatu kemajuan dalam posisi ekonomi dari hak pekerja untuk upah yang labih tinggi, Smith mempertimbangkan suatu keuntungan bersih untuk masyarakat: “pelayan, buruh, dan pekerja menciptakan berbagai jenis bagian yang besar dari setiap masyarakat politik yang besar. Tetapi, kemajuan keadaan bagian terbesar apa yang tidak pernah dianggap sebagai suatu gangguan untuk semuanya.
Tidak ada masyarakat yang dapat dengan pasti maju dan bahagia yang bagian terbesar dari anggota adalah orang miskin dan menyedihkan. Tetapi ini keadilan disamping harus membagi produk labor milik mereka sebagai dirinya lumayan dimakan, dipakai, dan ditempati dengan baik”
Upah yang rendah merupakan suatu kondisi simpton yang tidak berubah di bawah wages-fund, luas seperti itu mungkin, gagal untuk meningkatkan dan dengan demikian gagal untuk mentimulasi suatu kenaikan demand untuk labor.
Tentang hubungan antara upah dan pertumbuhan populasi, smith mengatakan bahwa kemiskinan tidak akan menurunkan pernikahan dan tingkat kelahiran bahkan stimulasi selanjutnya, tapi itu akan berakibat tidak menyenangkan pada tingkat kelahiran bayi dan anak.
Suatu upah tinggi merupakan efek peningkatan kesejahteraan dan menyebabkan peningkatan populasi untuk mengkomplain hal ini, keluhan yang berlebihan pada kebutuhan efek dan penyebab kesejahteraan publik yang terbesar.
Dalam ajaran Smith upah tinggi dihubungkan pada peningkatan/kemajuan produktifitas labor. Pemikiran kurva penawaran backward sloping dari labor adalah tidak secara mutlak ditolak tapi dipertimbangkan dapat diterapkan hanya pada orang minoritas.
Walaupun Smith mengesahkan upah tinggi dia tidak senang harga tinggi tidak seperti Physiocrath, dia menghubungkan harga rendah dari ketentuan dengan kelebihan dan kemakmuran, harga tinggi dengan kelangkaan dan kesusahan.
Jika ketentuan adalah murah dan banyak pekerja mungkin ingin memulai bisnis milik mereka dan pekerja ingin menyewa lebih banyak labor dengan demand labor meningkat dan supply turun, harga labor mungkin naik. Ketika ketentuan adalah mahal dan langka, peristiwa-peristiwa mungkin terjadi bagian lawan.
Variasi harga labor mungkin akan menutup variasi ketentuan harga. Kemudian sejak upah uang ditetapkan keduanya oleh permintaan labor dan harga wage-goods (upah barang), fluktuasi harga wage-goods tidak akan gagal untuk mendesak akibat pada upah uang. Ini akan mempunyai efek mengurangi fluktuasi upah uang yang lebih kaku daripada harga ketentuan.
Seperti yang telah diketahui ketika harga ketentuan tinggi permintaan labor cenderung turun sebagaimana upah jika tendensi upah ini tidak ditandai oleh harga tinggi dari wage-goods. Dan ketika harga makanan rendah efek peningkatan demand untuk labor pada upah ditandai lagi oleh harga rendah wage-goods yang berlaku.
Fluktuasi harga ketentuan kemudian mempunyai dua efek pada upah yang satu menandai yang lain. Mereka mempengaruhi demand labor dan kemudian upah pada satu arah, tapi efek pada upah menurunkan kerugian, seluruh atau dalam bagian oleh efek countervailing dari fluktuasi yang sama yaitu dari harga wage-goods menarik upah pada arah yang berlawanan.
·         Teori Sewa
Dalam teori sewanya, Smith bimbang antara jumlah prinsip eksplanatori pada yang di bawah pembayaran sewa. Ini baginya, “secara alami suatu harga monopoli,” suatu penunjukkan yang dijelaskan oleh observasi bahwa “ini tidak semua proporsion pada apa yang tuan tanah mungkin meletakkan dalam peningkatan tanah atau apa yang dapay dia hasilkan, tapi apa yang dapat petani hasilkan untuk diberikan.”
Ketika smith membicarakan harga komoditas dia memasukan sewa tanah sebagai elemen biaya dan kemudian sebagai determinan harga produk, tapi dalam bagian khusus disediakan untuk sewa dia mempertimbangkan suatu sewa tinggi atau rendah efek dari harga produk yang tinggi atau rendah.
Smith tidak mengubah bagian ini dalam kritik Hume, dia tidak menemukan ketidakkonsistenannya. Ini mungkin bahwa dalam teori harga microekonominya dia mempertimbangkan kegunaan khusus dari bidang tanah sebagai biaya pengadaan dalam istilah oportunitas alternative, sedangkan dalam teori makroekonomi dari disribusi tanah sebagai suatu keseluruhan yang dipandang sebagai perolehan bukan kegunaan alternative.
Sewa diinterpretasikan sebagai suatu perbedaan yang bermacam-macam dengan kedua fertilitas dan lokasi. Untuk lokasi kemajuan tranportasi akan cenderung menyamakan perbedaan lokasi sebaik sewa. Dalam teori perkembangan ekonomi smith, peningkatan pendapat nasional dengn peningktan pemerataan pendapatan penyewaan kelas tuan tanah.
Peningkatan pendapatan nasional akan diingat, diprediksi oleh smith dalam dividion of labor dimana manufaktur lebih rentan daripada agrikultur. Peningkatan spesialisasi dan produktivitas dalam sector manufaktur ekonomi akan lebih rendah harga manufaktur dan peningkatan nilai riil dari sewa.
Peningkatan pemerataan kelas tuan tanah dalam pendapatan nasional kemudian mencerminkan kemajuan perdagangan dari sector agrikultur. Dalam teori Ricardian, factor strategic yang menghasilan suatu hasil yang dihasilkan tidak banyak meningkatkn produktivitas dalam manufaktur sebagai diminishing return untuk tanah yang meningkatkan harga agrikultur dan dengan demikian memajukan perdagangan sector agrikultur dari perekonomian dan peningkatan pemerataan ini dari peningkatan nasional.












Jumat, 20 April 2012

Bantuan Luar Negeri : Ekonomi Pembangunan


BANTUAN ( PINJAMAN ) LUAR NEGERI : PERDEBATAN TENTANG PEMBANGUNAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Ekonomi Pembangunan II
Oleh :
Agung Dwi Satriawan ( 1001101010013 )
Sisca Porina Sari ( 1001101010064 )
Clara Mauliza Azuma ( 1001101010032 )
Rahmad Deddy Setiadi ( 1001101010046 )
Fakhrizal ( 1001101010074 )
Andika Mansyur ( 1001101010054 )
Khairul Amni ( 1001101010017 )
Rizky Maulidi




FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2012






DAFTAR ISI
   
Bab I Pendahuluan.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................ 1
Bab II Permasalahan............................................................................................... 4
2.1 Arti Penting Bantuan ( Pinjaman ) Luar Negeri............................................ 4
  2.1.1 Pengertian Pinjaman Luar Negeri..................................................... 5
2.1.2 Jenis – Jenis Pinjaman Luar Negeri.................................................. 6
2.2 Alasan Pihak Donor Memberikan Pinjaman................................................. 7
2.3 Alasan Luar Negara Berkembang Bersedia Menerima
Bantuan Luar  Negeri.................................................................................. 9
2.4 Faktor – Faktor yang Menentukan Jumlah Bantuan Luar Negeri
Bagi Pembangunan Ekonomi....................................................................... 10
2.5 Dampak – Dampak Bantuan Luar Negeri..................................................... 12
Bab III Analisis......................................................................................................... 14
3.1 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Indonesia.......................................... 14
Bab IV Kesimpulan dan Rekomendasi.................................................................. 18
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................  18
4.2 Rekomendasi................................................................................................. 19
Bab V Daftar Pustaka ............................................................................................  20





DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri dan
Surat Berharga Negara 2003 – 2010...................................................... 15
Tabel 3.2 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Menurut Peminjamnya
2004 – 2009 (dalam juta US$)................................................................. 16







BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
      Kondisi ekonomi dan politik Indonesia mengalami kondisi yang tidak stabil pada periode 1950 – 1965, kondisi ini disebabkan karena kebijaksanaan pemerintah lebih difokuskan kepada politik dalam negeri dan masalah militer, maka dari itu sangat kecil perhatian dan sumber daya yang dicurahkan untuk pembangunan ekonomi.
Kesulitan anggaran membuat inflasi menjadi masalah utama, ditambah kesulitan dalam sistem nilai tukar yang dapat mengurangi keuntungan sektor perdagangan, menyebabkan penyusutan. Sementara pemberontakan terjadi di Sumatera dan Sulawesi pada tahun 1958 yang menyebabkan anggaran untuk militer membengkak, padahal penerimaan ekspor dari dua pulau tersebut yang merupakan sumber daya penting menurun.
Monetisasi anggaran defisit menaikkan rata – rata inflasi dari 17% menjadi 25% di tahun 1950 – 1957. Pada periode selanjutnya kenaikan inflasi semakin tinggi tiap minggunya dan mencapai 65% tahun 1966. Pendapatan masyarakat rata – rata perkapita hanya US $80  dan hutang luar negeri yang harus dibayar berjumlah US $2,2 Miliar.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka pada tahun 1966 pemerintah Indonesia telah mengambil kebijaksanaan untuk mengadakan konsolidasi, rehabilitasi, dan stabilisasi serta memutuskan untuk mengadakan pendekatan ke luar negeri dengan maksud :
1.      Mengadakan penjadwalan kembali hutang – hutang lama.
2.      Mengusahakan bantuan – bantuan keuangan yang baru dari luar negeri untuk mendukung neraca pembayaran Indonesia.
3.      Berusaha menarik penanaman modal asing ke Indonesia.
Bagi negara-negara yang belum/tidak mampu menghimpun tabungan domestik secukupnya untuk mendorong pertumbuhan ekonominya biasanya mencari sumber pembiayaan dari negara – negara lain. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun pernah sangat tergantung pada bantuan dana dari luar negeri, terutama pada periode 1835-1860.
Setiap negara tentunya membutuhkan negara lain untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat negaranya. Kondisi saling membutuhkan ini disebabkan negara negara tersebut tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhan masyarakatnya. Dari keadaan yang seperti inilah akhirnya terjadi perdagangan internasional. Saling ketergantungan antar negara ini tentunya dapat memperkuat perekonomian dunia, walaupun ada beberapa  sisi negatif  yang timbul dari perdagangan internasional. Seperti kualitas barang luar negeri yang lebih baik dibandingkan barang dalam negeri sehingga masyarakat lebih menyukai barang produksi luar negeri dibandingkan punya produk negara tersebut.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, memungkinkan terjadinya hubungan luar negeri baik secara bilateral maupun multilateral. Perdagangan internasional sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu bangsa, pemenuhan kebutuhan masyarakatnya dan juga dapat menambah devisa negara. Dalam setiap perdagangan internasional setiap negara mempunyai neraca pembayaran yang merupakan catatan seluruh transaksi antar penduduk suatu negara dengan negara lainnya dan dari sinilah kita dapat melihat posisi cadangan devisa suatu negara. Cadangan devisa diperlukan bagi setiap negara untuk mendukung kegiatan ekonomi yang membutuhkan mata uang asing, seperti pembiayaan impor dan pembayaran utang luar negeri dan menyeimbangkan posisi neraca pembayaran suatu negara.
Sumber devisa utama bagi negara – negara dunia ketiga adalah bantuan resmi pembangunan yang bersifat bilateral maupun multilateral serta bantuan tidak resmi yang disedakan oleh LSM. Kedua aktivitas bantuan tersebut secara umum lebih dikenal dengan istilah baku bantuan (dana) luar negeri (foreign aid), meskipun biasanya hanya bantuan resmi saja yang diestimasi dalam data statistik resmi.
Pada prinsipnya, semua transfer sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah dari suatu negara ke negara lain dapat dikatakan sebagai bantuan luar negeri. Namun, pada kenyataannya terdapat juga permasalahan. Salah satunya yaitu banyak transfer sumber daya yang berlangsung dalam bentuk – bentuk yang terselubung. Arus – arus modal swasta asing sering dinyatakan sebagai transaksi – transaksi komersial biasa, yang semata-mata bertolak dari hitungan pertimbangan untung rugi khas dunia bisnis, oleh karena itu modal seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai bantuan bagi negara – negara berkembang yang menerimanya.
Negara – negara berkembang pada umumnya memerlukan utang dari luar negeri untuk menutupi kesenjangan antara tabungan domestik dengan kebutuhan investasinya, serta kesenjangan antara ekspor dan impornya. Kemampuan dalam negeri tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan maka dari itu dibutuhkan utang dari luar negeri.
Besarnya utang luar negeri pemerintah setiap tahunnya disesuaikan dengan kebijakan pembangunan yang direncanakan pemerintah, pengeluaran apa saja yang dibutuhkan dan seberapa besar sumber penerimaan dalam negeri maupun membiayai pembangunan tersebut untuk mencapai tujuan pemerintah. Kebijakan pemanfaatan utang luar negeri selalu didasarkan pada arahan pokok, yaitu bahwa dana luar negeri masih tetap dimanfaatkan untuk melengkapi sumber pembiayaan dalam negeri.


BAB II
PERMASALAHAN

2.1 Arti Penting Bantuan (Pinjaman) Luar Negeri.
            Bantuan luar negeri merupakan salah satu fenomena umum politik internasional yang terjadi sejak Perang Duni II. Dalam cakupannya bantuan luar negeri diberikan berdasarkan atas dua tujuan, yaitu untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang dan pengurangan angka kemiskinan di negara – negara berkembang dan untuk mencapai kepentingan politik serta strategis negara donor. Ada kepentingan lain dari negara pendonor  yaitu mendapatkan manfaat ekonomi dan politik pada saat ekonomi negara penerima sedang berkembang karena akan memiliki hubungan perdagangan maupun investasi yang menguntungkan dan pengaruh politik atas negara penerima bantuan.
            Bantuan asing (luar negeri) yang dimaksud adalah meliputi bantuan yang bersumber dari pemerintah maupun swasta. Hampir semua bantuan melalui pemerintah mempunyai syarat – syarat yang longgar atau lunak yakni diberikan sebagai hibah semata – mata (grants) atau sebagai pinjaman dengan tingkat bunga rendah dan dengan jangka waktu pembayaran yang lebih lama daripada yang ditawarkan kepada pasar modal swasta internasional (Lincolin Arsyad : 166 ). Selain itu, pemerintah juga memberikan pinjaman – pinjaman komersial, termasuk kredit ekspor, investasi modal (equity), dan pinjaman – pinjaman “keras” dari Bank Dunia dan bank – bank pembangunan regional.
            Aliran – aliran konsesional tersebut secara teknis disebut bantuan pembangunan resmi atau Official Development Assistance (ODA), tetapi lebih dikenal sebagai bantuan luar negeri. Bantuan ini dapat dibagi lagi atas bantuan bilateral, yang diberikan langsung oleh sebuah negara kepada negara yang lainnya dan bantuan multilateral, dimana dana – dana mengalir ke sebuah perwakilan internasional seperti PBB, Bank Dunia, dan bank – bank pembangunan regional, yang selanjutnya meminjamkan atau menyalurkan dana – dana tersebut ke Negara Sedang Berkembang penerima. Akhirnya, bantuan luar negeri tersebut dapat terbentuk bantuan teknis, pemberian tenaga – tenaga terampil/ahli; atau bantuan modal, pemberian dana atau komoditi – komoditi untuk berbagai tujuan.
            Negara – negara yang utang luar negerinya besar pada umumnya menghadapi masalah yang tidak hanya berhenti setelah mendapatkan utang tersebut tetapi yang paling adalah bagaimana negara tersebut dapat membayar kembali utang tersebut. Masalah yang seperti ini banyak terjadi di negara – negara terutama di negara berkembang atau Negara Dunia Ketiga. Bahkan pembayaran kembali utang tersebut merupakan masalah yang sangat pelik bagi beberapa negara. Pasalnya, pembayaran kembali utang harus tetap bisa menjamin stabilitas yang juga harus mampu mempertahankan kegiatan ekonominya.
            Bantuan luar negeri juga dapat dianggap dapat mempermudah dan mempercepat proses pembangunan, karena bantuan luar negeri dapat secara seketika meningkatkan persediaan tabungan domestik sebagai hasil dari meningkatnya laju pertumbuhan yang ingin dicapai. Tapi dalam kenyataannya, banyak bantuan luar negeri tersebut yang tidak diinvestasikan, produktifitas dari investasi tersebut sering kali sangat rendah.
2.1.1 Pengertian Pinjaman Luar Negeri
            Pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang di rupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan jasa yang di peroleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus di bayar kembali dengan persyaratan tertentu (Bank Indonesia, 2010).

2.1.2 Jenis – Jenis Pinjaman Luar Negeri
Adapun bentuk – bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas (Bank Indonesia, 2010):
a.       Pinjaman dengan syarat pengembalian. Pinjaman ini terdiri dari (i) Pinjaman lunak : adalah pinjaman yang masuk dalam kategori Official Development Assistance (ODA) Loan atau Concessional Loan, yang berasal dari suatu negara atau lembaga multilateral, dengan syarat yang sangat ringan; (ii) Pinjaman/kredit ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor; dan (iii) kredit komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga dan lain – lain sesuai perkembangan pasar internasional.
b.      Pinjaman/kredit bilateral/multilateral. Pinjaman ini berbentuk (i) Pinjaman bilateral: pinjaman luar negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga keuangan dan/atau lembaga non keuangan yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman; dan (ii) Pinjaman multilateral : adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari lembaga multilateral.
c.       Pinjaman/bantuan menurut kategori barang atau jasa. Kategori pinjaman ini adalah : (i) bantuan program ( program Loan ) adalah pinjaman luar negeri dalam valuta asing yang dapat dirupiahkan dan digunakan untuk pembiayaan APBN; (ii) Bantuan proyek ( project Loan ) yaitu bantuan diperoleh untuk pembiayaan dan pengadaan barang dan jasa pada proyek – proyek pembangunan; dan (iii) Bantuan teknik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaga kerja Indonesia yang dilatih di luar negeri.

2.2 Alasan Pihak Donor Memberikan Bantuan
            Alasan utama pihak pemerintah negara pendonor memberikan bantuan luar negeri adalah karena hal tersebut digunakan sebagai alat untuk mengejar kepentingan-kepentingan politik, strategis, dan ekonomi mereka sendiri. Walaupun pada sebagiannya didorong karena ada alasan – alasan moral dan kemanusiaan, yakni untuk membantu negara – negara yamg memang membutuhkan. Pada awalnya negara – negara pendonor bersedia membantu pihak atau negara lain tanpa mengharapkan suatu imbalan tertentu, baik berupa imbalan politik, ekonomi, militer, dan sebagainya. Maka daripada itu, motif  bantuan luar negeri dari negara – negara donor tersebut dibagi menjadi dua kategori yang saling berhubungan, yaitu, bantuan luar negeri yang bersifat dan bermotifkan politik, serta yang bertujuan dan bermotifkan ekonomi.
            Motivasi – motivasi Politik merupakan motivasi yang paling penting apabila ditinjau dari sudut pandang negara – negara pemberi bantuan, terutama bagi negara donor yang tergolong besar, seperti Amerika Serikat. Kebanyakan program bantuan bagi negara – negara berkembang lebih diarahkan untuk memperkuat dan mempertahankan rezim – rezim pemerintahan pro-Barat (tidak peduli apakah mereka menjalankan pemerintahan secara demokratis atau tidak, serta tidak peduli seberapa korupnya rezim itu, selama pro-Barat dan antikomunis) daripada mendorong pembangunan ekonomi dan sosial jangka panjang yang sesungguhnya. Beralihnya perhatian dan arah tujuan bantuan luar negeri Washington, dari Asia Selatan ke Asia Tenggara, ke Amerika Latin, ke Timur Tengah lalu kembali lagi ke Asia Tenggara selama dekade 1950-an dan 1960-an, dan ke Afrika dan Teluk Persia dalam tahun terakhir 1970-an.
Sejak tahun 2001, bantuan bergeser menuju ke negara – negara yang sedang mengalami pemberontakan dari kalangan Islamis, atau negara – negara yang diyakini sebagai ladang teroris. Peningkatan jumlah bantuan luar negeri ekonomi dalam bidang kesehatan juga meningkat di Afrika terkait kekhawatiran tentang penyakit – penyakit yang akan menyebar ke negara – negara lainnya. Negara – negara donor Barat pada umumnya menggunakan bantuan luar negeri sebagai alat politik untuk mmepertahankan atau menyokong rezim politik yang dianggap “bersahabat” di negara – negara Dunia Ketiga, yang eksistensinya dipandang sesuai dengan kepentingan “keamanan nasional” mereka.
Motivasi – motivasi Ekonomi dalam konteks prioritas strategi dan politik yang luas, program bantuan luar negeri negara – negara maju mempunyai landasan atau logika ekonomis yang kuat. Walaupun motivasi politik mungkin merupakan pertimbangan utama bagi negara – negara donor lainnya, tetapi logika dan perhitungan – perhitungan ekonomis tetap disertakan, setidaknya sebagai kata pengantar untuk menutupi motivasi mereka yang sebenarnya dalam memberikan bantuan luar negeri.
            Sumber keuangan dari luar ( baik berupa hibah atau pinjaman ) dapat memainkan peranan yang penting dalam usaha melengkapi kekurangan sumber daya domestik guna mempercepat pertumbuhan devisa dan tabungan ( analisis bantuan luar negeri “dua kesenjangan” ). Berasumsi bahwa negara – negara berkembang pada umunya menghadapi kendala berupa keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari mencukupi untuk menggarap segenap peluang investasi yang ada, serta kelangkaan devisa yang tidak memungkinkannya mengimpor  barang – barang modal dan barang perantara yang penting bagi pembangunannya ( Todaro, 2006 : 288).
            Kekurangan tabungan tidaklah dapat digantikan oleh cadangan devisa dan sebaliknya, kekurangan devisa tidak pula dapat dipenuhi di dalam negeri. Apabila kesenjangan tabungan yang lebih dominan, maka negara tersebut mencapai kondisi full employment atau pendayagunaan segenap faktor produksi atau sumber daya secara penuh, dan juga tidak menggunakan semua dari pendapatan devisanya.
Contoh yang paling tepat mengenai negara – negara yang mengalami “kesenjangan tabungan” adalah negara – negara Arab pengekspor minyak selama dekade 1970-an dan analisis kesenjangan tabungan ini mengandung kelemahan, yakni melupakan kemungkinan bahwa kelebihan devisa tersebut sebenarnya dapat digunakan untuk membeli sumber – sumber produktif. Oleh karena itu, bantuan luar negeri dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam usaha negara yang bersangkutan dimana salah satu faktornya adalah mengurangi kendala utamanya yang berupa kekurangan devisa, serta untuk mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonominya.
2.3 Alasan Negara Berkembang Bersedia Menerima Bantuan Luar Negeri
            Setidaknya ada tiga alasan bagi Negara Berkembang  menerima bantuan luar negeri yaitu :
a.       Alasan yang utama dan yang penting lebih merupakan alasan secara praktis dan konseptual bersifat ekonomis. Karena Negara yang sedang Berkembang cenderung mempercayai pendapat ahli ekonomi negara – negara maju. Yaitu bahwa bantuan luar negeri merupakan obat pendorong dan stimulan bagi proses pembangunan, turut membantu mengalihkan struktur ekonomi serta membantu Negara yang sedang Berkembang mencapai take off menuju pertumbuhan ekonomi yang mandiri.
b.      Alasan kedua adalah menyangkut masalah politik. Dibeberapa negara, baik negara penerima maupun negara donor, bantuan dipandang sebagai alat yang dapat memberikan kekuatan politik yang lebih besar kepada pemimpin yang sedang berkuasa untuk menekan oposisi dan mempertahankan kekuasaannya. Dalam hal ini, bantuan tidak saja berbentuk transfer sumber keuangan akan tetapi juga dalam bentuk bantuan militer dan pertahanan dalam negeri.
c.       Alasan ketiga adalah motivasi yang dilandasi oleh moral, yaitu apakah berlatarbelakang pada rasa tanggungjawab kemanusiaan Negara Kaya terhadap kesejahteraan  Negara sedang Berkembang dan Negara Miskin, atau karena kepercayaan, bahwa Negara – negara Kaya merasa berhutang budi karena eksploitasi dimasa penjajahan dulu. Sehingga bantuan luar negeri merupakan kewajiban sosial bagi Negara – negara Kaya untuk pembangunan Negara yang sedang berkembang dan Negara Miskin (Todaro, 2006 : 292 – 294).
Bantuan luar negeri cenderung dianggap atau bahkan diyakini akan dapat melengkapi kelangkaan sumber daya alam negeri di suatu Negara Berkembang, membantu terlaksannya transformasi ekonomi secara struktural, serta mendukung Negara – negara Dunia Ketiga dalam mencapai tahapan pembangunan tinggal-landas menuju ke tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Wajar apabila negara – negara Dunia Ketiga ingin memperoleh bantuan yang lebih banyak dalam bentuk pemberian yang cuma – cuma  atau pinjaman – pinjaman jangka panjang dengan bunga yang rendah.
2.4 Faktor- Faktor Yang Menentukan Jumlah Bantuan Luar Negeri Bagi Pembangunan Ekonomi
            Pertama, adalah tersedianya dana. Negara-negara maju seharusnya menyediakan cukup modal surplus untuk di ekspor. Tetapi mereka tidak menyediakan modal surplus dalam jumlah yang cukup besar. Beberapa negara maju seperti Kanada dan Australia sendiri meminjam dari Amerika Serikat dan Inggris untuk membiayai proyek pembangunan mereka. Tetapi, usaha yang sungguh-sungguh oleh negara kaya untuk menggalang modal surplus sebenarnya dapat memenuhi keperluan negara terbelakang.
            Kedua, adalah daya serap negara penerima. Daya serap mencakup semua hal dimana kemampuan untuk merencanakan dan melaksanakan proyek pembangunan, untuk mengubah struktur perekonomian, dan untuk mengalokasikan kembali sumber, di batasi oleh kurangnya faktor-faktor penting, problem kelembagaan atau organisasi yang tidak sesuai. Faktor yang menyebabkan rendahnya daya serap terhadap investasi produktif adalah kurangnya kewirausahaan yang efisien, kemacetan administratif dan kelembagaan, kurangnya tenaga terlatih, kurangnya mobilitas geografis dan pekerjaan, dan kecilnya pasar domestik. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan daya serap, negara terbelakang harus melaksanakan proyek pra-investasi secar tepat dan memadai. Dalam hal ini, negara terbelakang dapat memanfaatkan bantuan yang disediakan oleh lembaga- lembaga internasional seperti Special Fund PBB.
            Ketiga, adalah tersedianya sumber-sumber. Jika suatu negara terbelakang mempunyai sumber manusia dan sumber alam yang kurang memadai, kekurangan ini akan menjadi penghambat bagi pemanfaatan secara efektif modal asing. Akibatnya menjadi semakin sulit negara seperti itu untuk memanfaatkan bantuan asing yang tersedia.
            Keempat, adalah kemampuan negara penerima untuk membayar kembali. Ini merupakan masalah yang paling lansung karena beban pembayaran pinjaman menjadi penghambat bagi negara terbelakang untuk mengambil pinjaman dalam jumlah besar. Kemampuan untuk membayar kembali tergantung pada kemampuan mereka untuk mengekspor dan menggali sumber-sumber devisa. Salah satu faktor penentu kemampuan untuk membayar kembali adalah peranan pinjaman pada produktifitas perekonomian secara keseluruhan, dan kemampuan sistem tersebut untuk menjaring bagian yang perlu dari produktifitas tersebut dalam bentuk pajak atau penetapan harga, dan mengalokasikan kembali sumber-sumber sehingga mengalihkan beban pembayaran utang ke luar negeri. Syarat agar mampu membayar ialah bahwa sistem fiskal mampu menghimpun dana yang diperlukan, dan terjadi transformasi yang mengalihkan sumber ke jalur-jalur yang meningkatkan ekspor atau menurunkan impor.
            Kelima, adalah kemauan dan usaha si negara penerima untuk membangun. Modal yang diterima dari luar negeri tidak dengan sendirinya memberikan hasil. Kecuali jika diinginkan dan dibarengi dengan usaha di pihak negara penerima.
2.5 Dampak-Dampak Bantuan Luar Negeri
            Masalah mengenai dampak-dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh bantuan luar negeri, terutama bantuan resmi, seperti halnya dampak investasi asing swasta, masih ramai di perdebatkan. Di satu pihak, yaitu para ekonom tradisional, mengemukakan bahwa bantuan luar negeri telah membuktikan manfaatnya dengan mendorong pertumbuhan dan transformasi struktural di banyak negara berkembang. Namun, pihak lain berpendapat bahwa dalam kenyataannya bantuan luar negeri tersebut sama sekali tidak mendorong pertumbuhan hingga menjadi lebih cepat, tetapi  justru memperlambat pertumbuhan sehubungan dengan adanya substitusi terhadap investasi dan tabungan dalam negeri dan membesarnya devisit neraca pembayaran negara-negara berkembang, yang semuanya itu merupakan akibat dari meningkatnya kewajiban negara-negara berkembang untuk membayar utang, serta sering dikaitkannya bantuan tersebut dengan keharusan menampung produk ekspor negara-negara donor.
            Bantuan resmi juga dikritik karena dalam prakteknya terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan sektor modern, yang pada akhirnya memperlebar kesenjangan standar hidup antara si kaya dan si miskin di negara-negara berkembang. Belakangan ini muncul kecaman baru yang menuding bahwa tujuan atau fungsi bantuan luar negeri praktis telah gagal, karena bantuan ini hanya mendorong tumbuhnya kaum birokrat yang korup, mematikan inisiatif masyarakat, serta menciptakan mentalitas pengemis bagi negara-negara penerimanya.
            Terlepas dari kritik-kritik tersebut, selama dua dasawarsa yang lampau nampak bahwa masyarakat di negara-negara donor itu sendiri mulai bersikap antipati terhadap bantuan luar negeri, sehubungan dengan munculnya masalah-masalah domestik yang serba pelik dirumah mereka sendiri, seperti pengangguran, devisit anggaran pemerintah, dan masalah ketidakseimbangan neraca pembayaran yang kemudian mulai mendapatkan perhatian dan prioritas pemerintahan negara-negara maju, diatas kepentingan politik internasional mereka.














BAB III
ANALISIS

3.1 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Indonesia
            Sejak masa orde baru hingga kini pemerintah indonesia telah memanfaatkan dana pinjaman luar negeri untuk membiayai proyek-proyek pembangunan produktif  yang belum mampu dibiayai sepenuhnya dari tabungan pemerintah. Peran pinjaman luar negeri menjadi penting sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk menutup devisit anggaran, terutama sebagai sumber dana pembangunan. Namun sejak era reformasi yang di awali dengan krisis moneter 1997, pemerintah mulai menyadari bahwa ketergantungan pada pinjaman luar negeri menyebabkan indonesia terjebak dalam krisis yang berkepanjangan. Disamping sulitnya mencari sumber pinjaman, prosedur yang panjang dan persyaratan yang sering dikaitkan dengan masalah politik, menyebabkan indonesia tidak bisa leluasa bergerak melaksanakan politik luar negerinya secara bebas dan aktif.
            Pemerintah mengambil kebijakan menutup devisit anggaran meliputi privatisasi BUMN dan penerbitan obligasi yang sering disebut “ Surat Berharga Negara”, sedangkan pinjaman luar negeri hanya sebagai pelengkap. Penerbitan SBN yang dilakukan pemerintah ini memiliki potensi yang sangat besar karena dapat dipakai untuk mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar negeri. Dengan demikian pinjaman luar negeri merupakan alternatif kebijakan pemerintah, walaupun dalam pelaksanaanya berubah menjadi langkah kebijakan yang berlangsung terus menerus setiap tahun.



Tabel 3.1 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri dan Surat Berharga Negara 2003 – 2010
Tahun/kuartal
Pinjaman Luar Negeri (juta US$)
Pertumbuhan (%)
Surat Berharga Negara (Milyar Rp)
Pertumbuhan (%)
2003  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

129.466
130.585
131.952
135.401
-
0,86
1,05
2,61
546.995
548.315
547.791
593.911
-
0,24
-0,1
8,42
2004  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

136.679
133.378
132.798
137.024

0,94
-2,4
-0,4
3,18

398.863
394.120
400.497
402.099
-33
-1,2
1,62
0,4
2005  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

134.362
128.355
128.759
130.652
-1,9
-4,5
0,31
1,47
410.124
404.985
406.398
399.839
2
-1,3
0,35
-1,6
2006  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

134.627
129.934
127.529
128.736
3,04
-3,5
-1,9
0,95
399.618
407.293
424.727
418.751
-0,1
1,92
4,28
-1,4
2007  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

131.283
133.482
136.947
136.640
1,98
1,68
2,6
-0,2
438.824
454.818
472.411
477.747

4,79
3,64
3,87
1,13
2008  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

145.519
146.226
147.339
149.141
6,5
0,49
0,76
1,22
496.404
520.228
537.001
520.995
3,91
4,8
3,22
-3

2009  Q1
          Q2
          Q3
          Q4

150.965
153.741
167.989
172.871
1,22
1,84
9,27
2,91
547.158
555.913
570.053
584.434
5,02
1,6
2,54
2,52
Sumber : Bank Indonesia  2010



Tabel 3.2 Perkembangan Pinjaman Luar Negeri Menurut Peminjamnya 2004 – 2009 (dalam juta US$)
Keterangan
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Menurut Institusi :






    Pemerintah Pusat
    Otoritas Moneter
70.153
12.572
69.245
10.827
73.051
2.758
76.920
3.688
85.122
1.454
90.853
8.412
Swasta :

    Lembaga Keuangan:
           Bank
           Bukan Bank
3.909
4.306
4.057
2.329
4.573
2.017
5.401
2.114
5.668
3.167
9.530
3.066
    Bukan Lembaga Keuangan
46.084
44.194
46.337
48.517
53.729
61.009
Jumlah
137.024
130.652
128.736
136.640
149.141
172.871
Sumber : Bank Indonesia 2010

Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 menggambarkan perkembangan pinjaman luar negeri Indonesia. Pada kuartal pertama Tahun 2003 sampai dengan kuartal ketiga Tahun 2010 menunjukkan peningkatan yang sangat besar,  yaitu dari US$ 129.466 Juta menjadi US$ 194.349 Juta atau terjadi peningkatan sebesar 50 persen. Sedangkan Surat Berharga Negara semula Rp 546.995 Milyar menjadi Rp 655.860 Milyar atau meningkat 19,9 persen. Dengan peningkatan jumlah utang tersebut, tidak bisa dihindari adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga pada setiap tahunnya, yang menjadi beban APBN. Jika pembayaran pokok dan terus menggerus penerimaan negara, maka negeri ini menanggung opportunity cost yang besar yang sesungguhnya dapat digunakan untuk pembangunan.
Tidak bisa dipungkiri, posisi miring utang pemerintah mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Meski secara persentase utang pemerintah mengalami penurunan, namun faktanya nilai total utang pemerintah mulai 2003 terus mengalami kenaikan hingga akhir 2009 mencapai sekitar Rp 1.590,66 triliun. Dengan nilai PDB Rp 5.613,44 triliun, maka rasio utang terhadap PDB pada 2009 lebih rendah dari pada rasio – rasio selama periode 2001 – 2007. Namun, rasio pada 2009 ini nyatanya ekuivalen dengan nominal utang yang jauh lebih besar dari pada periode sebelumnya.
Rasio utang Indonesia yang digunakan pemerintah mengalami penurunan sesungguhnya adalah sebuah anomali yang kontraproduktif. Adanya bunga menyebabkan nominal utang justru bertambah. Ditambah lagi keberadaan resiko kurs yang kian menyebabkan nilai utang Indonesia terus meningkat. Ini semua secara keseluruhan berdampak pada pengurangan kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi lantaran kapasitas pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan menjadi berkurang. Inilah opportunity cost yang harusnya ditanggung rakyat Indonesia. Beban utang berbunga telah menghabiskan potensi sumber dana yang semestinya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak dan bermanfaat. Setiap rupiah Indonesia yang dialokasikan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang seharusnya dapat disalurkan untuk program pembangunan padat karya, kesehatan, pendidikan, investasi, dan juga infrastruktur. Dengan mengoptimalkan sumber – sumber dana dalam negeri non-utang, diharapkan Indonesia dapat segera keluar dari jebakan utang, yang tampaknya sudah semakin membebani perekonomian Indonesia.



             
           BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan
            Indikator bahwa negara tersebut mengalami kemajuan atau perubahan struktur ekonomi, tidak hanya dilihat dari tingginya pendapatan perkapita yang didapat Negara tersebut dan juga laju pertumbuhan yang tinggi. Namun banyaknya hutang luar negeri suatu negara, bisa saja apa yang  negara peroleh, semata-mata hanya untuk membayar hutang Luar negeri.
            Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena itu, masih relatif  lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional. Seolah-olah segala upaya dan strategi pembangunan difokuskan oleh pemerintah untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dari tahun ke tahun. Akibatnya, pemerintah negara-negara tersebut harus mendatangkan sumberdaya ekonomi dari negara-negara lain untuk dapat memberikan dukungan yang cukup bagi pelaksanaan program pembangunan ekonomi nasionalnya.
            Bantuan luar negeri yang datang dapat menyebabkan makin “membludaknya” jumlah hutang luar negeri Indonesia dapat diselesaikan dengan beberapa solusi :
1)      Meningkatkan  daya beli masyarakat, yakni melalui pemberdayaan ekonomi pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya.
2)      Meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan impor.
3)      Konsep pembangunan yang berkesinambungan, berlanjut dan mengarah pada satu titik maksimalisasi kekuatan ekonomi nasional dan melepaskan secara bertahap ketergantungan utang luar negeri.
4)      Mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejahteraan yang berkeadilan dan merata.
4.2 Rekomendasi
            Berdasarkan analisis yang telah disimpulkan, maka rekomendasi yang dapat penulis berikan sebagai berikut :
1.      Kepada Pemerintah
Besar jumlah Pinjaman Luar Negeri dan Surat Berharga Negara harus dikurangi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal.
2.      Kepada Pembaca
Berdasarkan analisis, Pinjaman Luar Negeri dan Surat Berharga Negara mampu meningkatkan PDB Indonesia, namun disisi lain peningkatan Pinjaman Luar Negeri dan Surat Berharga Negara juga akan meningkatkan pengeluaran pemerintah berupa beban bunga, sehingga perlu kajian selanjutnya terkait beban bunga tersebut.





BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi.
Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Munawir. 2011. Pengaruh Tinjauan Luar Negeri dan Surat Berharga Negara Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia (Skripsi). Banda Aceh. Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala.
Todaro, Michael P dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan, Terjemahan Andri Yelvi. Jakarta : Erlangga.
www.google.co.idurlsa=t&rct=j&q=latar%20belakang%20masalah%20bantuan%20pinjaman%20luar%20negeri&source=web&cd=7&ved=0CE4QFjAG&url=http%3A%2F%2Fwww.library.upnvj.ac.
http://www.laohamutuk.org/econ/debt/09DebeGute.htm